Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Posted by Amar Suteja Minggu, 22 September 2013 0 komentar
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).


Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.SEMUA itu berkat IPNU

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan organisasi induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Baca Selengkapnya ....

Penjenjangan Kaderisasi PMII

Posted by Amar Suteja 0 komentar
Secara berurutan, baik pelatihan formal, pelatihan non formal (pengembangan) maupun pelatihan informal dan pelatihan Fasilitator adalah sebagai berikut:
1.      Masa Penerimaan Anggota Baru, disingkat MAPABA.
Mapaba merupakan forum pengkaderan formal tingkat pertama yang dilakukan oleh pengurus rayon atau komisariat. Disamping sebagai masa penerimaan anggota, forum ini juga sebagai wahana pengenalan PMII dan penanaman nilai (doktrinasi) dan idealisme sosial PMII.
Pada fase ini harus ditanamkan makna idealisme yang bermuatan relegius bagi mahasiswa dan urgensi perjuangan untuk idealisme itu melalui PMII baik pada struktur formalnya sebagai organisasi maupun pada aspek substansinya sebagai komunitas gerakan mahasisiwa yang berkatar kultur Islam. Karena itu terget yang harus dicapai pada fase ini adalah tertanamnya keyakinan pada setiap individu anggota bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang paling tepat untuk mengembangkan diri dan memperjuangkan idealisme tersebut. Dari tahap ini output yang diharapkan adalah anggota yang mu’taqid.
Setelah Mapaba seorang kader pergerakan juga harus mengikuti pelatihan non formal pengembangan dan informa, yang juga merupakan syarat mutlak bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKD.

2.       Pelatihan Kader Dasar, disingkat PKD
Pelatihan Kader Dasar merupakan perkaderan formal tingkat kedua. Pada fase ini persoalan doktrinasi nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi gerakan, diharapkan sudah tuntas. Target yang harus dicapai pada fase ini adalah terwujudnya kader-kader militan, mempunyai komitmen moral dan dasar-dasar kemampuan praksis untuk melakukan Amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam PKD, kepada peserta mulai diperkenalkan berbagai berbagai model gerakan, prinsip prinsip dasar Analisa Sosial, dasar-dasar Advokasi dengan segala macam bentuknya  serta dasar-dasar managerial pengelolaan aktifitas dan gerakan. Output dari PKD adalah seorang kader pergerakan yang siap terjun di tengah masyarakat.
Selain follow up, setelah PKD seorang kader pergerakan juga harus mengikuti berbagai pelatihan formal pengembangan atau informal, yang juga merupakan syarat mutlak bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKL.
3.             Pelatihan Kader Lanjut, disingkat PKL
      Tahapan ini merupakan fase spesifikasi untuk mengarahkan kader kepada kemampuan pegelolaan organisasi secara professional. Dengan pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai dan misi organisasi yang telah ditanamkan pada PKD, maka dalam PKL ini kader ditempa dan dikembangkan seluruh potensi dirinya untuk menjadi seorang pemimpin yang menyadari sepenuhnya amanah kekhalifahanya dengan didukung oleh kematangan leadership dan kemampuan managerial. Output dari pelatihan tahap ini adalah “Leader of Movement and Institusion”.
Follow up PKL dilakukan melalui (dalam bentuk) pengelolaan aksi sosial transformatif. Hal ini dimaksudkan untuk peningkatan kualitas kepemimpinan kader pergerakan, baik dalam rangka pengembangan organisasi maupun dalam memecahkan persoalan-persoalan strategis yang berkaitan dengan dinamika internal organisasi dan dinamika eksternal yang terjadi di masyarakat.


Baca Selengkapnya ....

Macam Dan Pengertian Perakaderan PMII

Posted by Amar Suteja 0 komentar
Kaderisasi PMII pada hakekatnya adalah totalitas upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk membina dan mengembangkan potensi dzikir, fikir dan amal soleh setiap insan pergerakan. Secara kategoris dapat dipilih dalam tiga bentuk yakni: Perkaderan Formal, Perkaderan Nom Formal (Pengembangan) dan Perkaderan Informal. Ketiga bentuk ini harus diikuti oleh segenap warga pergerakan, sehingga pada saatnya kelak akan terwujud kader yang berkualitas ulul albab.
Perkaderan formal meliputi tiga tahapan dengan masing-masing follow-up-nya. Ketiganya itu adalah Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba), Pelatihan Kader Dasar (PKD), dan Pelatihan Kader Lanjutan (PKL). Ketiga tahapan dengan follw-up yang menyertai itu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, karena kaderisasi PMII pada hakekatnya merupakan proses terus menerus, baik di dalam maupun di luar forum kaderisasi (long-life-education).
Perkaderan Formal Pengembangan adalah berbagai pelatihan dan pendidikan yang ada di PMII. Perkaderan jenis ini dibedakan dalam dua macam, yakni 1) yang wajib diikuti oleh segenap kader secara mutlak, dan 2) yang wajib di ikuti sebagai pilihan. Yang sifatnya wajib mutlak, disamping sebagai pembekalan mengenai hal-hal dasar yang harus dimiliki kader pergerakan, juga merupakan prasyarat bagi keikutsertaan kader bersangkutan dalam PKD atau  PKL.
Sedang perkaderan informal adalah keterlibatan kader pergerakan dalam berbagai aktifitas dan peran kemasyarakatan PMII. Baik dalam posisi sebagai penanggung jawab, menjadi bagian dari team work, atau bahkan sekedar partisipan. Perkaderan jenis ini sangat penting dan mutlak diikuti. Disamping sebagai tolak ukur komitmen dan militansi kader pergerakan, juga jauh lebih real disbanding pelatihan-pelatihan formal lain, karena langsung bersinggungan dengan realitas kehidupan.
Di atas semua pelatihan tersebut terdapat satu pelatihan lagi yakni pelatihan fasilitator. Pelatihan ini dimaksudkan untuk menciptakan kader-kader pergerakan yang secara terus menerus akan membina dan menangani berbagai forum perkaderan di PMII. Pelatihan lebih utama ditujukan bagi kader-kader potensial yang telah mengikuti semua bentuk perkaderan sebelumnya, dan yang telah teruji komitmennya terhadap PMII maupun aktifitas dan peran-peran sosial.

Baca Selengkapnya ....

Sistem Pengkaderan PMII Rayon Dakwah

Posted by Amar Suteja 0 komentar
PMII adalah merupakan suatu organisasi pengkaderan di tingkat mahasiswa yang mempunyai tujuan terbentuknya pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagai organisasi pengkaderan, PMII posisinya berada di luar (ekstra) kampus, yang secara bertahap terus melakukan proses kaderisasi, baik secara formal, non forma dan informal. Proses kaderisasi secara formal dilakukan secara bertahap mulai dari Masa Pneriamaan Anggota Baru (MAPABA), Pelatihan Kadert Dasar (PKD) dan Peatihan Kader Lanjut (PKL).
Proses pengkaderan non-formal dilakukan oleh pengurus untuk menjawab kebutuhan strategis kader dalam mengisi ruang-ruang publik. Sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kader pada arah pengembangan kapasitas, skill pribadi (sesuai dengan kecenderungan dan keahlian fakultatif kader) serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi yang tidak hanya berorientasi untuk mengisi ruang-ruang kosong PMII (struktural dan kultural). Akan tetapi harus dengan cara pandang ke depan dalam wilayah yang lebih besar dan setrategis. Sehingga pendidikan dan pelatihan ini, harus juga harus mampu memberikan ruang akselerasi kader diluar keluarga besar NU, yang tentunya berangkat dari pemetaan terhadap kelompok-kelompok setrategis. Dengan pola ini diharapkan PMII mampu berperan dalam melakukan distribusi kader di semua lini.
Dalam proses pengkaderan informal, dilakukan oleh warga atau kader PMII dalam ruang praktis yang ada dalam organisasi intra kampus. Adanya organsasi intra kampus tersebut, sebagai media ekspresi (action) atau bentuk manifestasi dari nilai-nilai yang ada di PMII yang selama ini di dapat. Dengan adanya tindakan tersebut, akan nampak jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh kader-kader untuk melakukan proses penanaman nilai secara makro pada seluruh mahasiswa.

A. Citra Diri Ulul Albab

Individu-individu yang membentuk oleh komunitas PMII dipersatukan dengan konstruks ideal seorang manusia (manusia seutuhnya). Secara idelogis, PMII merumuskannya sebagai ulul albab-citra diri seorang kader PMII. Tanda-tanda Ulul albab secara umum didefinisikan yang pertama sebagai seseorang yang selalu dan bersungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan (olah pikir). Yang kedua seseorang mampu memisahkan yang jelek dan baik (mungkar dan batil). yang ketiga kritis dalam mendengarkan pembicaraan pandai menimbang-nimbang ucapan teori, proposi atau dalil yang ditemukan oleh orang lain. dan yang keempat bersedia menyampaikan ilmu kepada orang lain untuk memperbaiki struktur masyarakat. Dengan sangat jelas citra ulul albab disarikan dalam motto PMII dzikir, pikir dan amal sholeh.
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an untuk menjelaskan secara lengkap kader tentang tan-tanda Ulul Albab digambarkan dalam sebagai sebagai ayat dalam al-qur’an.
1.      Al-Baqarah (2): 179
“dan dalam hukum qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa.
2.      Al-Baqarah (2): 197
“dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab.”
3.      Al-Baqarah (2); 296
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulul Albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”

4.      Ali-Imran  (3):190
dialah yang menurunkan al-kitab kepada kamu. Diantra (isi)nya ada ayat-ayat muhkamah itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat, Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari Tugas Akhir’wilnya, padahal tidak ada orang yang tahu Tugas Akhir’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: “kamu beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan kami tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Ulul Albab.”
5.      Ali Imran (3): 190
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab.”
6.      Al-Maidah (5) 100
“katakanlah : tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka betaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan.”
7.      Al-ra’d (13): 19
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar-benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran.”
8.      Ibrahim (14); 52
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan denganya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar Ulul Albab mengambil pelajaran.”
9.      Shaad (38): 29
“ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran Ulul Albab.”
10.  Shaad (38): 29
“dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rakhmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulul Albab.”
            11. Al-Zumar (39): 9 
“(Apakah kamu hai orang-orang musrik yang lebih beruntung)ataukah orang-orang yang beribadat diwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhanya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” sesungguhnya Ulul Albab-lah yang dapat menerima pelajaran.”
12.  Al-Zumar: (39): 17-18
“dan orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab.”
13.  Al-Zumar (39): 21
“Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul Albab.”
14.  Al-Mu’min (40): 53-54
“dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan kami wariskan taurat kepada Bani Israil untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi Bani Ulul Albab.”
15.  Al-Talaq (65):10
“Qallah menyediakan bagi mereka (orang-orang yang mendurhakai perinath Allah dan rasul-Nya) azab yang keras, maka bertaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.”
      Dari elaborasi teks di atas, komunitas ulul-albab dapat dicirikan sebagai berikut : (secara skematik dapat dirumuskan dalam bagan)
a.       Berkesadaran histories-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam.
b.      Berjiwa optimis-transedental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan/.
c.       Berpikir secara dialektis.
d.      Bersikap kritis.
e.       Bertindak Transformatif              

Sikap atau gerakan seperti ini bisa berinspirasi pada suatu pandangan keagamaan yang transformatif. Nah, Ulul Albab adalah orang yang mampu mentransformasikan keyakinan keagamaan atau ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan yang membebaskan: , melawan thaghut.
                       
B. Ulul Albab Adalah Kader Pelopor
Ulul Albab itulah yang dalam bahasa pergerakan disebut dengan kader pelopor (vanguardist). Kepeloporan dalam pengertian apa? Siapakah sebenarnya kader pelopor tersebut?
Asal usul istilah pelopor berasal dalam khasanah politik. Pertama kali diperkenalkan oleh Lenin di Rusia pada sekitar tahun 1980-an. Istilah itu digunakan untuk menyebut suatu partai pelopor (Vanguard party). Artinya, kepeloporan pada mulanya bermakna politik. Dalam penertian Lenian ini kepeloporan dimaknai sebagai kepeloporan politik atau propaganda bagi Partai Pelopor.

Baca Selengkapnya ....

MASALAH PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Posted by Amar Suteja 1 komentar


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
 
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
 
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.

Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’.

Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’.

Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.
Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana.

Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.

Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan.
 
Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.

Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri.

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1.      Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
1.      Undang-undang tidak berlaku surut.
2.      Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3.      Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
4.      Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
5.      Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
6.      Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

2.      Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1.      Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2.      Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3.      Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4.      Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5.      Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1.      Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2.      Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3.      Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4.      Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5.      Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6.      Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7.      Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8.      Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9.      Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10.  Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

3.      Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1.      Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2.      Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3.      Yang kurang-ditambah.
4.      Yang macet-dilancarkan.
5.      Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

4.      Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwabaik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5.      Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
1.      Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2.      Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3.      Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Masalah penegakan hukum (rule of law) di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan multifaktor. Penegakan hukum tentunya bermuara pada tercapainya tujuan-tujuan hukum yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Meskipun ketiga variabel tersebut sering kali saling bertabrakan. Keadilan merupakan hal yang sangat abstrak, hal tersebut disebabkan karena setiap individu memiliki perspektif yang berbeda mengenai keadilan. Terkadang yang kita anggap adil belum tentu adil bagi orang lain,  Begitu pula dengan kemanfaatan. Sementara kepastian hukum cenderung lebih statis, variabel ini cenderung kaku karena dibatasi oleh ketentuan yang sudah dilegalisasi secara permanen.
Setiap sistem hukum memiliki caranya tersendiri dalam mensinkronisasikan variabel-variabel dari tujuan hukum tersebut, misalnya sistem hukum civil law yang menitikberatkan penemuan hukum pada undang-undang atau aturan yang terkodifikasi maka aturan-aturan yang terkodifikasi tersebut sebisa mungkin dirancang agar bias mengakomodasi keadilan dan kemanfaatan bagi subjek-subjek hukum yang ada. Sementara dalam sistem hukum common law yang menitikberatkan penemuan hukum pada proses peradilan dikenal adanya yurisprudensi sebagai upaya menguatkan posisi kepastian hukum.
Dalam penegakan hukum sendiri menurut Lawrence Friedman ada 3 variabel yang sangat berperpengaruh, yaitu Substansi Hukum (legal substance), Kultur Hukum (legal culture) dan Struktur Hukum (legal structure). Substansi Hukum diartikan sebagai norma, peraturan atau undang-undang yang menjadi sumber rujukan dalam penemuan hukum, sementara kultur Hukum diartikan sebagai kebiasaan atau budaya hukum yang menjadi landasan berprilaku masyarakat dan Struktur Hukum diartikan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum serta lembaga-lembaga yang terkait lainnya.
Menelaah satu per satu variabel di atas dapat membawa kita mengerti seperti apa wajah penegakan hukum kita saat ini dan masalah apa yang sedang dihadapi bangsa kita saat ini terkait penegakan hukum.

Substansi Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia diadopsi dari peninggalan kolonial sistem belanda yang juga diadopsi dari code civil Prancis. Sistem hukum barat ini kemudian diakulturtasi dengan living law yang ada di Indonesia, di Indonesia sendiri terdapat keragaman kultur serta hukum-hukum adat yang tersebar di seluruh daerah, belum lagi pengaruh hukum islam yang begitu kental dibeberapa daerah.
Hal ini ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri, ketika hukum nasional kemudian harus bisa mengakomodasi setiap living law yang ada di seluruh daerah di Indonesia, apabila kodifikasi yang dibuat itu mengatur norma-norma yang sudah mapan tidak akan ada masalah, namun ketika berhubungan dengan norma-norma yang relatif maka penerapan hukum akan menjadi timpang dan dapat menyebabkan disinterpretasi, seperti halnya yang terjadi pada RUU Pornografi dan Pornoaksi dimana tidak ada titik temu mengenai pemaknaan yang general terhadap pornografi dan pornoaksi.
masalah ini sebetulnya sedikit terjawab dengan munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang mengakomodasi kepentingan setiap derah untuk menciptakan legalisasi terhadap norma-norma yang hidup dalam masyarakat di daerah tersebut selama tidak bertentangan dengan hukum nasional. Namun permasalahan sebetulnya terdapat pada pembuatan hukum itu sendiri, terkadang legislasi yang dilakukan oleh badan legislatif tidak memperhatikan adanya kesenjangan tersebut, pembuatan undang-undang terkadang tidak berpatokan kepada realitas sosial masyarakat di Indonesia, namun lebih kepada riset yang relevansinya diragukan.
Para legislator mestinya lebih sering melakukan penelitian ke daerah untuk menemukan formula yang tepat dalam perancangan undang-undang, namun yang terjadi justru mereka lebih suka melakukan studi banding ke luar negeri yang kondisi sosial masyarakatnya belum tentu sesuai dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Hal ini menyebabkan undang-undang yang dihasilkan terkadang sulit untuk dapat diterapkan secara maksimal.
Masalah lain adalah adanya kepentingan politik atau golongan-golongan tertentu dalam pembuatan sebuah undang-undang. Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum merupakan produk politik namun bukan berarti hukum dapat dijadikan instrument untuk menjalankan sebuah kepentingan politik melainkan harus bertujuan untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Kultur Hukum
Adanya heterogentas hukum dalam masyarakat Indonesia tentunya cukup mempengaruhi tingkat ketaatan hukum di setiap daerah, adanya pengaruh budaya yang dominan dalam perumusan hukum nasional akan menyebabkan daerah lain merasa termarginalkan dan mempengaruhi tingkat ketaatan hukum di daerah tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu kesukuan atau kedaerahan masih sangat sensitive dalam masyarakat Indonesia, adanya budaya yang cenderung dominan menyebabkan terciptanya disintegrasi sosial bahkan yang paling parah adalah disintegrasi bangsa.
Kebudayaan yang berbeda di setiap daerah dapat mnyebabkan interpretasi yang berbeda terhadap sebuah undang-undang. Disinterpretasi inilah yang kemudian berpotensi mengkriminalisasi budaya tertentu dan berimbas kepada marginalisasi secara hukum.
Secara umum budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat normatif, tanpa disadari hal tersebut telah membatasi ruang gerak berekspresi dan beraktualisasi bagi setiap individu, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah timbulnya upaya mencari celah untuk keluar dari lingkaran normatifitas tersebut dan menemukan kebebasan. Berbeda dengan Negara-negara liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu sehingga normatifitas seolah-olah hanya sesuatu yang bersifas opsional dan pada akhirnya kecenderungan yang terjadi adalah individu itu sendiri yang membutuhkan sebuah keteraturan dalam hidup mereka.
Hal tersebut sangat mempengaruhi prilaku kriminologis masyarakat Indonesia sendiri. Timbulnya budaya-budaya baru seperti budaya korupsi, kolusi, nepotisme, money politic, pergaulan bebas, pembunuhan karakter dll, menjadi representasi adanya sikap antisosial sebagai bentuk perlawanan terhadap norma-norma yang ada.
Realitas tersebut kemudian membuat hukum serta norma-norma lainnya seolah menjadi musuh bagi setiap individu ditambah lagi kesenjangan sosial, rendahnya pendidikan serta masalah ekonomi turut menjadi faktor yang menumbuhsuburkan potensi pelanggaran hukum oleh masyarakat.

Baca Selengkapnya ....
Blog PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya Di Desain Oleh Amar Suteja .