Tiga Fase Imperialisme

Posted by Amar Suteja Senin, 04 Februari 2013 0 komentar
Oleh Amar Suteja (ketua Rayon periode 2013-2014)

Untuk mengawali proses analisis dalam sistem kapitalisme global perspektif ekonomi-politik, maka menurut hemat penulis perlu diuraikan mulai dari akar masalahnya. Berikut ini penulis uraikan sejarah imperialisme yang dipaparkan oleh Noam Chomsky,1 dan selanjutnya penulis kaitkan dengan logika terjadinya proses sistemik dalam perspektif ekonomi-politik yang kemudian terjadi masalah sosial dalam era neoliberalisme.
Menurut Noam Chomsky, bahwa sepanjang beberapa dekade imperialisme telah menjadi bahan perdebatan serius diantara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm dan Vladimir Lenin adalah diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang meneorisasikan imperialisme. Seorang penggerak revolusi Rusia, Vladimir Ilyich mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Imperialisme lahir dari suatu krisis kapitalisme dari suatu negeri. Agar keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahanbahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. Dalam pandangan Lenin, imperialisme dicirikan oleh lima hal, pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk konglomerasi maupun monopoli; kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri dan birokrasi; ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial, keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi transnasional melalui kartel internasional; kelima, pembagian politik dunia oleh negaranegara maju. Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans.

Pendekatan Lenin atas imperialisme ini salah satunya dikritik oleh Samir Amin, seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga. Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital Eropa Atlantis yang menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian, terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida total atas masyarakat Indian, dimana negara Amerika Serikat berdiri diatasnya. Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.

Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk berupaya untuk mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil Jhon Rhodes adalah salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri. Imperialisme fase kedua ini berakibat pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu, maka sejak terjadinya kolonilaisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan ini menjadi enampuluh berbanding satu, dengan sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian dan ketidaksamaan sosio-ekonomi secara persisten. Imperialisme fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk mempertahankan koloninya. Namun juga mengahsilkan berbagai perlawanan yang terus menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan Afrika.

Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang diantaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis serta negara kapitalis baru yang muncul pada Abad ke-19 seperti Jerman, Amerika Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. Kaum imperealis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis mereka sangat tergantung dari berapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi.
Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya dan memiliki sumber daya manusia serta tehnologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni. Saat ini sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya sistem Soviet dan rezim-rezim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan dari imperealisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah sumber daya agraria, dan melakukan supereksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara pinggiran. Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk megukuhkan hegemoni imperialisme tahap ketiga ini, diataranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi, humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan oleh model standar ganda dan hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada negara-negara pinggiran.

Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu zaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi dengan globalisasi teknologi informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang berbasis jaringan (network sosiety), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa, membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan global pada zaman ini. Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang baru, sembari mendeklarasikan suatu zaman ‘pos-imperealis’. Sementara yang lain berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol baru.

Dalam perspektif ekonomi-politik imperialisme ini berkaitan erat dengan sejarah perkembangan kapitalisme dan proses panjang transformasi masyarakat dari masyarakat feodal ke masyarakat modern, atau sering disebut pada masa kini dengan era globalisasi. Globalisasi inilah yang kemudian berdampak pada krisis masyarakat kapitalisme.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Tiga Fase Imperialisme
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/02/tiga-fase-imperialisme.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Blog PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya Di Desain Oleh Amar Suteja .