MASALAH PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Minggu, 22 September 2013
1
komentar
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau
dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam
arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum.
Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam
arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Tetapi,
dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan
yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law
enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’
dalam arti sempit.
Pembedaan
antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau
dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’
yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam
istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi
bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’.
Dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.
PENEGAKAN
HUKUM OBJEKTIF
Seperti
disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup
pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan
dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel
mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam
bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam
arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan.
Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’
dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan.
Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat
disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.
Istilah-istilah
itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada
intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim
dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.
Dalam
perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka,
sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan
kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan
dalam peradilan pidana.
Namun
demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan
menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban
demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
Pengertian
kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu
sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua
sisi dari mata uang yang sama. Setiap
norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma
hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan
kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis,
sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut
konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan.
Dalam
setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara
paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya
diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan
sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan
ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.
Dalam
sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ
negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena
itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Gagasan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam
pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern
terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga
perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri
utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy).
Dengan
perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya,
tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia
secara tersendiri.
Secara
konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
Pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut adalah, sebagai berikut:
1.
Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum.
Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan
mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang
dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto,
1979).
Mengenai
berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut
antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa
yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Undang-undang yang bersifat khusus
menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
4. Undang-undang yang berlaku belakangan,
membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
5. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
6. Undang-undang merupakan suatu sarana
untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun
pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak
hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka
harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran,
disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh
mereka.
Ada
beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya
dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri
dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum
tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk
memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda
pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya
merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan
tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai
berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman
maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan
setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang
terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang
selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan
yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam
dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan
tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban,
maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang
diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana
atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum
menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya
untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai
berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau
dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau
ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat
Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai
pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwabaik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system)
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn
nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka &
Soerjono soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai
rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan
nilai kebaruan/inovatisme.
Masalah
penegakan hukum (rule of law) di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan
multifaktor. Penegakan hukum tentunya bermuara pada tercapainya tujuan-tujuan
hukum yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Meskipun ketiga
variabel tersebut sering kali saling bertabrakan. Keadilan merupakan hal yang
sangat abstrak, hal tersebut disebabkan karena setiap individu memiliki
perspektif yang berbeda mengenai keadilan. Terkadang yang kita anggap adil
belum tentu adil bagi orang lain, Begitu
pula dengan kemanfaatan. Sementara kepastian hukum cenderung lebih statis,
variabel ini cenderung kaku karena dibatasi oleh ketentuan yang sudah
dilegalisasi secara permanen.
Setiap
sistem hukum memiliki caranya tersendiri dalam mensinkronisasikan
variabel-variabel dari tujuan hukum tersebut, misalnya sistem hukum civil law
yang menitikberatkan penemuan hukum pada undang-undang atau aturan yang
terkodifikasi maka aturan-aturan yang terkodifikasi tersebut sebisa mungkin
dirancang agar bias mengakomodasi keadilan dan kemanfaatan bagi subjek-subjek
hukum yang ada. Sementara dalam sistem hukum common law yang menitikberatkan
penemuan hukum pada proses peradilan dikenal adanya yurisprudensi sebagai upaya
menguatkan posisi kepastian hukum.
Dalam
penegakan hukum sendiri menurut Lawrence Friedman ada 3 variabel yang sangat
berperpengaruh, yaitu Substansi Hukum (legal substance), Kultur Hukum (legal
culture) dan Struktur Hukum (legal structure). Substansi Hukum diartikan
sebagai norma, peraturan atau undang-undang yang menjadi sumber rujukan dalam
penemuan hukum, sementara kultur Hukum diartikan sebagai kebiasaan atau budaya
hukum yang menjadi landasan berprilaku masyarakat dan Struktur Hukum diartikan
sebagai lembaga-lembaga penegak hukum serta lembaga-lembaga yang terkait
lainnya.
Menelaah
satu per satu variabel di atas dapat membawa kita mengerti seperti apa wajah
penegakan hukum kita saat ini dan masalah apa yang sedang dihadapi bangsa kita
saat ini terkait penegakan hukum.
Substansi
Hukum
Sebagaimana
diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia diadopsi dari peninggalan kolonial
sistem belanda yang juga diadopsi dari code civil Prancis. Sistem hukum barat
ini kemudian diakulturtasi dengan living law yang ada di Indonesia, di
Indonesia sendiri terdapat keragaman kultur serta hukum-hukum adat yang
tersebar di seluruh daerah, belum lagi pengaruh hukum islam yang begitu kental
dibeberapa daerah.
Hal
ini ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri, ketika hukum nasional
kemudian harus bisa mengakomodasi setiap living law yang ada di seluruh daerah
di Indonesia, apabila kodifikasi yang dibuat itu mengatur norma-norma yang
sudah mapan tidak akan ada masalah, namun ketika berhubungan dengan norma-norma
yang relatif maka penerapan hukum akan menjadi timpang dan dapat menyebabkan
disinterpretasi, seperti halnya yang terjadi pada RUU Pornografi dan Pornoaksi
dimana tidak ada titik temu mengenai pemaknaan yang general terhadap pornografi
dan pornoaksi.
masalah
ini sebetulnya sedikit terjawab dengan munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang
mengakomodasi kepentingan setiap derah untuk menciptakan legalisasi terhadap
norma-norma yang hidup dalam masyarakat di daerah tersebut selama tidak
bertentangan dengan hukum nasional. Namun permasalahan sebetulnya terdapat pada
pembuatan hukum itu sendiri, terkadang legislasi yang dilakukan oleh badan
legislatif tidak memperhatikan adanya kesenjangan tersebut, pembuatan
undang-undang terkadang tidak berpatokan kepada realitas sosial masyarakat di
Indonesia, namun lebih kepada riset yang relevansinya diragukan.
Para
legislator mestinya lebih sering melakukan penelitian ke daerah untuk menemukan
formula yang tepat dalam perancangan undang-undang, namun yang terjadi justru
mereka lebih suka melakukan studi banding ke luar negeri yang kondisi sosial
masyarakatnya belum tentu sesuai dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia.
Hal ini menyebabkan undang-undang yang dihasilkan terkadang sulit untuk dapat
diterapkan secara maksimal.
Masalah
lain adalah adanya kepentingan politik atau golongan-golongan tertentu dalam
pembuatan sebuah undang-undang. Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum merupakan
produk politik namun bukan berarti hukum dapat dijadikan instrument untuk
menjalankan sebuah kepentingan politik melainkan harus bertujuan untuk
menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kultur
Hukum
Adanya
heterogentas hukum dalam masyarakat Indonesia tentunya cukup mempengaruhi
tingkat ketaatan hukum di setiap daerah, adanya pengaruh budaya yang dominan
dalam perumusan hukum nasional akan menyebabkan daerah lain merasa
termarginalkan dan mempengaruhi tingkat ketaatan hukum di daerah tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa isu kesukuan atau kedaerahan masih sangat sensitive
dalam masyarakat Indonesia, adanya budaya yang cenderung dominan menyebabkan
terciptanya disintegrasi sosial bahkan yang paling parah adalah disintegrasi
bangsa.
Kebudayaan
yang berbeda di setiap daerah dapat mnyebabkan interpretasi yang berbeda
terhadap sebuah undang-undang. Disinterpretasi inilah yang kemudian berpotensi
mengkriminalisasi budaya tertentu dan berimbas kepada marginalisasi secara
hukum.
Secara
umum budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat normatif,
tanpa disadari hal tersebut telah membatasi ruang gerak berekspresi dan
beraktualisasi bagi setiap individu, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah
timbulnya upaya mencari celah untuk keluar dari lingkaran normatifitas tersebut
dan menemukan kebebasan. Berbeda dengan Negara-negara liberal yang menjunjung
tinggi kebebasan individu sehingga normatifitas seolah-olah hanya sesuatu yang
bersifas opsional dan pada akhirnya kecenderungan yang terjadi adalah individu
itu sendiri yang membutuhkan sebuah keteraturan dalam hidup mereka.
Hal
tersebut sangat mempengaruhi prilaku kriminologis masyarakat Indonesia sendiri.
Timbulnya budaya-budaya baru seperti budaya korupsi, kolusi, nepotisme, money
politic, pergaulan bebas, pembunuhan karakter dll, menjadi representasi adanya
sikap antisosial sebagai bentuk perlawanan terhadap norma-norma yang ada.
Realitas
tersebut kemudian membuat hukum serta norma-norma lainnya seolah menjadi musuh
bagi setiap individu ditambah lagi kesenjangan sosial, rendahnya pendidikan
serta masalah ekonomi turut menjadi faktor yang menumbuhsuburkan potensi
pelanggaran hukum oleh masyarakat.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MASALAH PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/09/masalah-penegakan-hukum-di-indonesia.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
1 komentar:
https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWMkJvbFpZejBQZWM/view?usp=drivesdk
Web: almawaddah.info
Salam
Kepada:
Redaksi, rektor dan para akademik
Per: Beberapa Hadis Sahih Bukhari dan Muslim yang Disembunyikan
Bagi tujuan kajian dan renungan. Diambil dari: almawaddah. info
Selamat hari raya, maaf zahir dan batin.
Posting Komentar