MASA FEODALISME : FILSAFAT SOSIAL THOMAS AQUINAS DAN THOMAS HOBBES

Posted by Amar Suteja Selasa, 19 Februari 2013 1 komentar
Di tulis Oleh Faizal Mahzan, S. Sos
(Ketua Rayon Periode 2012-2013)

------------------------------------------------------------------------

Kita semua pasti sudah tahu apa itu filsafat, yaitu suatu aktivitas berfikir tentang sesuatu sampai mendalam sampai pada inti persoalannya, tetapi kita disini tidak akan membahas bagaimana kita berfikir tentang filsafat, dikarenakan hal ini sudah kita pelajari sebelumnya, namun disini kita akan membahas lebih jauh lagi yaitu mengenai filsafat yang objek materialnya kehidupan social budaya yang ada di dalam masyarakat, atau sering kita sebut sebagai filsafat social. Sebenarnya tidak ada dycotomi antara filsafat alam dan filsafat social, hal ini juga disebabkan karena masing-masing tokoh filsafatnyapun sama, tetapi dari pemikiran mereka yang dibedakan, dalam artian dari pemikiran tokoh tersebut mana yang termasuk ilmu alam dan mana yang termasuk ilmu social.
Ketika kita belajar tentang filsafat kita harus flashback lagi ke zaman dahulu, zaman dimana para tokoh-tokoh filsafat dulu hidup mulai dari zaman filsafat klasik yang dimulai oleh Thales sampai filsafat post modern seperti sekarang ini, menurut kami hal ini sangat penting karena ketika mempelajari makna historis dari filsafat ini kita akan menemukan berbagai proses social yang terjadi pada masa klasik atau yunani kuno, masa pertengahan, sampai masa kontemporer mempunyai cirri-ciri perubahan-perubahan social yang khas menurut zamannya masing-masing.
Kita tahu bahwa kita semua pernah mengalami perubahan-perubahan social yang amat dramatis di sepanjang hidup kita, keluarga kita saat ini berbeda jauh dengan keuarga-keluarga orang tua kita, betapapun besar tekad kita untuk melestarikan nilai-nilai tradisional, kebanyakan mereka yang hidup sendirian, atau hidup dalam kelompok-kelompok selain keluarga, menjalani kehidupan itu dengan cara-cara yang mustahil dijalani pada satu generasi silam. Semua perubahan yang terjadi di dalam hidup kita merupaka suatu proses social yang sangat kompleks, yang asal mulanya bisa dilacak kembali hingga zaman prasejarah. Proses social tidak lain adalah kehidupan umat manusia, kelahirannya, prokreasi dan kematiannya. Yang harus senantiasa berlangsung selama kehidupan manusia itu masih berjalan. Perubahan-perubahan dalam proses social tidak lain adalah perubahan hal dalam kondisi kehidupan.
Hidup kita adalah kelanjutan dari kehidupan para bapak ibu kita dahulu, namun kondisi-kondisi material dan pengorganisasian social hidup kita, serta ide-ide kita tentang kehidupan dalam masyarakat jelas berbeda dengan mereka. Masa silam itu menyediakan basis yang dari situ kita bisa berupaya agar sesuatu bisa berlangsung, atau bereaksi terhadap sesuatu yang berlangsung dengan harapan agar segala sesuatunya menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Beberapa ide perubahan social menghendaki terjadinya perubahan yang radikal atas bentuk-bentuk pengorganisasian social yang ada saat ini, menuntut tatanan yang sepenuhnya baru atau kembali ke “masa kejayaan yang telah silam, sebelum terjadinya kemerosotan”.
Filsafat social adalah wacana yang membahas isu-isu fundamental, yang dikarenakan isu-isu itulah program-program politik menjadi berbeda satu sama lain. Filsafat social berkenaan dengan pertanyaan : seperti apakah prinsip-prinsip social itu seharusnya, dan mengapa demikian. Pertanyaan-pertanyaan filsafat social bisa dikemukakan dalam bentuk yang sangat abstrak : bagaimana relasi antara kaum leki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, harus dikonsepsikan? Prinsip apa yang seharusnya mengarahkan distribusi social atas tenaga kerja, lahan, peralatan, dan hasil produksi? Apa sesungguhnya hukuman itu, dan dengan syarat-syarat seperti apa hokum itu bisa di anggap shahih? Jika dikemukakan dengan cara yang abstrak demikian itu, pertanyaan-pertanyaan itu bisa dikatakan sudah dibahas sejak pertama kalinya muncul perenungan manusia atas kehidupan di dalam masyarakat.
Filsafat social dengan demikian perlu dipahami secara historis. Mustahil memahami filsafat-filsafat social saat ini, termasuk fiolsafat social anda sendiri, tanpa pengetahuan tentang akarnya, baik pada pengorganisasian masyarakat-masyarakat zaman sekarang maupun pada filsafat-filsafat social di masa silam.
Apa yang kami jelaskan di pendahuluan ini merupakan tahapan dalam sejarah filsafat social dikemukakan dalam kaitannya dengan pembahasan tentang lingkungan social yang berubah pembahasan itu berbatas pada tradisi filsafat social eropa sejak abad pertengahan hingga saat ini. Kita bisa mengatakan bahwa pembahasan itu menggambarkan kelahiran dan keruntuhan pasar bebas sebagai pranata social utama dan sebagai kunci untuk memahami masyarakat.
Dengan lebih banyak mengacu pada tradisi umum filsafat social daripada tradisi-tradisi yang lebih khusus berupa filsafat moral, filsafat politik, atau filsafat hokum, sejarah, atau ilmu-ilmu social, kami disini ingin menekankan kesatuan fundamental dari berbagai ragam refleksi mengenal masyarakat. Dan dengan menampilkan filsafat sebagai bagian integral dari proses social, kami disini berharap untuk bisa menghindari kesalahan yang menganggap filsafat sebagai bidang yang mengawang-awang dan tidak bersinggungan dengan perjuangan politik, atau sedemikian ganjil sehingga tidak relevan dengan perjuangan politik itu.
PEMBAHASAN

A. Feodalisme dan Filsafat Sosial Aquinas
a. Eropa barat tahun 800-1000: Lahirnya system fief
Selama abad ke-9, eropa barat dilanda oleh serangan dari luar, yang serangan-serangan itu diantaranya dilakukan oleh para perompak Arab, suku-suku penyerbu dari Hongaria, sampai pada kaum Viking yang seing kali melakukan penjarahan di beberapa tempat. Sehingga hal ini menimbulkan perdagangan jarak jauh menjadi tidak aman dan mata uang global pun sudah tidak dicetak lagi, sehingga hal ini menuntut mereka hidup masing-masing untuk hidup mandiri.
Pada saat itu kerajaan merupakan suatu lembaga social yang paling memiliki kekuasaan, sebagian besar lahan masih liar dan hanya beberapa saja yang telah dibudidayakan, dan lahan ini terbagi menjadi: lahan milik kerajaan, lahan milik Lord, lahan milik gereja dan lahan pertanian yang dimiliki oleh petani bebas, tetapi pada prinsipnya Raja masih tetap bisa mengenakan pajak atas semua lahan-lahan diatas karena lahan yang mereka miliki masih dalam territorial kerajaan, pajaknya bisa dalam bentuk uang atau jasa ataupun wajib militer yang diperintahkan langsung oleh Raja, tetapi hal ini sangat tidak efektif karena ketika Raja masih menyiapkan para tentaranya para perampok sudah pergi dengan harta jarahan mereka, maka dari itu raja disini sangat membutuhkan pasukan yang siap setiap saat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan kerajaan, tetapi masalahnya Raja tidak mempunyai pendanaan yang cukup, hanya kaum Lord lah yang bisa menyiapkan perihal militer ini, dan jalan keluar yang paling masuk akal yaitu dengan mengadakan Sistem Fief.
System Fief yaitu dimana raja menyerahkan sebagian lahan milik kerajaan dalam bentuk Fief kepada orang lain yang terkemuka atau seorang bangsawan, yang biasanya adalah seorang Lord atau petani bebas, dan disini system kerjanya seperti Otonomi daerah yang ada di Indonesia, jadi Si pengelola fief memiliki hak legal atas lahan dan petani yang bekerja di Fief tersebut, mulai dari menarik pajak sampai menerapkan otoritasnya, dan Si pengelola Fief tersebut tidak akan dikenakan pajak pemerintah. Tetapi sebagai timbal baliknya Si pengelola Fief bersumpah setia skepada Raja dalam sumbangsihnya pada sector pertahanan di wilayah itu dengan menyediakan sejumlah laskar berkuda dengan senjata lengkap. System Fief memungkinkan para raja menyediakan persenjataan dan membiayai para bala tentara.
Dan cara kedua dalam system Fief ini dapat dilakukan dengan jalan Raja membebaskan seorang Lord atau bangsawan dari kewajiban membayar pajak jika sin Lord itu bersumpah setia kepada Raja dalam hal pertahanan tadi, hal ini sering kali dilakukan dengan cara Lord menyerahkan lahannya kepada Raja, dan menerima lahan itu kembali sebagai Fief yang dikuasainya secara turun-temurun yang disertai dengan hak dan kewajiban tertentu.
Para pengelola Fief yang besar seperti halnya yang dilakukan oleh Raja dia membagikan jatah Fiefnya kepada bawahan-bawahannya, dan sebagai timbale baliknya para bawahan itu harus memberikan pengabdiannya pada majikannya. Dan pecahan-pecahan dari Fief ini atau dapat kita sebut Subfief masih akan membagi fiefnya dengan orang yang lebih bawah darinya untuk tujuan yang sama, sampai pada tingkatan yang paling bawah yaitu para Slave dan Serf.
Para lord disini yang memiliki fief besar membagi fief itu berdasarkan system Manor, yang mana fief yang besar terdiri dari beberapa Manor, biasanya pada sebuah Manor terbagi menjadi beberapa Demesne yaitu yang berupa lahan pertanian dan satu rumah Lord sebagai pusatnya, pada prinsipnya Lord disini bertugas untuk menjaga daerah kekuasaannya itu dari para perampok.

b. Sistem Kelas
Apabila kita meneliti lebih lanjut tentang system Fief yang sebagian besar di anut oleh bangsa-bangsa di Eropa pada abad klasik ini, terlihat jelas system ini membentuk sebuah struktur Pyramid, dimana seorang Raja menduduki peringkat paling atas dengan para Slave dan Serf di peringkat paling bawah.
Kendala social yang sangat kuat dan perbedaan status yang tegas memisahkan kaum bangsawan dengan kaum petani. Permasalahan ini merujuk pada munculnya pembagian social dalam bentuk baru. Pada periode-periode sebelumnya banyak Lord yang masih patuh atas segala ketetapan yang dibuat oleh seorang Raja, namun sekarang kaum bangsawan memonopoli tugas-tugas militer dan administrative, dan tidak lagi terlibat dalam kegiatan produksi, sementara para petani tidak lagi menjalankan wajib militernya dan dipaksa oleh Lord untuk mengurusi masalah pertanian saja. Permasalahan yang kian tegas antara kaum bangsawan dengan kaum petani lantas menjadi masalah keturunan.
Kaum bangsawan menduduki posisi kepemilikan yang efektif atas lahan. Namun didalam lembaga fief, lahan tidak dapat dikenai status sebagai harta milik pribadi yang eksklusif atau tak bersyarat.
Istilah feodalisme diambil dari istilah latin ‘Feodum’ yang berarti Fief. Jadi istilah ‘feodalisme’ secara harfiah berarti suatu masyarakat yang diatur berdasarkan system Fief, dengan kekuasaan legal dan politis yang menyebar luas di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan ekonomi. Namun sudah lazim untuk menggunakan istilah itu dengan pengertian yang lebih luas, untuk mengacu pada masyarakat manapun dimana sebagian besar produksi social dilakukan oleh orang-orang yang harus menyerahkan sebagian produk mereka kepada sekelompok non produsen pemiliki lahan turun-temurun.

B. Krisis Feodalisme dan Filsafat Sosial Hobbes
a. Krisis abad ke-14 dan dampaknya pada tahun 1300-1500
Tahun 1300 merupakan tahun terakhir dari ekspansi feodal. Tanah-tanah pertanian yang bsemakin tandus, sementara lahan lain yang belum dibudidayakan umumnya berkualitas buruk, dan salah satu penyebab berakhirnya ekspansi itu adalah iklim yamh kacau dan serangkaian hasil panen yang buruk. Terus diperparah oleh terjadinya serangkaian wabah penyakit yang menular yang memakan korban sangat banyak.
Tidak disangka efek dari timbulnya wabah penyakit ini sangat besar, separuh lebih dari jumlah pendudk kota mati, dan hal ini membuat para pemegang kekuasaan di kota kembali membujuk petani agar berdomisili di kota, tapi nampaknya usahanya itu sia-sia saja. Dikarenahakan pada prinsipnya efek yang lebih mengerikan justru terjadi di desa, para petani yang selamat dari wabah di tuntut oleh kaum Lord untuk bekerja lebih keras lagi dengan cara kaum lord menaikkan pajak penghasilan mereka, dan terus berusaha supaya meeka tidak pindah ke kota.
Hal yang paling buruk justru disini sangat dirasakan oleh Lord, dikarenakan kota-kota yang begitu banyak dan belum lagi mereka diperlemah dengan wabah penyakit, peperangan dan konflik internal yang mana dari keadaan ini digunakan raja untuk lebih memperkuat dirinya dengan cara menjual fief-fief yang tidak terurus kepada para bangsawan tersebut, dan para Lord ini pun jika mereka masih ingin mempunyai suatu kekuasaan maka dia harus mempunyai lahan yang dijual raja tadi walaupun lahan fiefnya sama sekali tidak subur untuk dibuat pertanian. Upaya-upay kaum Lord dalam membenahi kebendaharaannya salah satunya adalah meningkatkan eksploitasi terhadap kaum petani, dan yag terjadi malah sebaliknya terjadi pemberontakan –pemberontakan yang dilakukan para Serf dan Slave.
Dan hal ini berarti kaum bangsawan eropa barat harus mencari cara-cara baru untuk mempertahankan pendapatan mereka, cara mereka yang pertama yaitu dengan jalan para petani didorong untuk mengganti uang kerja mereka dengan uang sewa, maksudnya disini adalah para Lord bersedia untuk sekaligus menyerahkan Demesne dalam bentuk sewaan kepada para petani, disini Lord mempunyai beberapa keuntungan yang pertama Lord tidak perlu lagi menggaji para Mandor atau pengawas pertanian, dan yang kedua para Lord bisa mencari tambahan dari sector-sektor yang lain. Dan cara yang kedua yaitu dengan cara mengubah fungsi lahan menjadi peternakan biri-biri.
Krisis pada abad ke-14 menyebabkan perpindahan dan mobiolitas social yag terbesar dan belum pernah terjadi sebelumnya, kebangsawanan yang dulu sangat kuat kinimereka sedang sekarat, sedangkan sebaliknya Raja dan kota-kota menjadi lebih kuat. Lahan sewaan dan buruh harian telah menggantikan system yang lama dan pengorganisasian yang seperti ini merupakan cermin produksi yang bersifat non feudal yang dapat diartikan bahwa mereka tidak bergantung lagi dengan pemaksaan legal terhadap petani.

b. Kemakmuran Baru, tahun 1500-1600
Tatanan feodal sudah terguncang, dan perubahan structural yang telah berlangsung sangat cepat mengalami perubahan pada akhir abad ke 15. Hal ini terjadi karena arus emas dan perak masuk ke Eropa dengan cara pengolahan yang lebih canggih, dan hal ini menimbulkan ketidak seimbangan penghasilan antara kota dengan pedesaan, dan hal ini membuat para Lord mencari cara untuk menambah penghasilan mereka dengan cara mungkin menaikka pajak bagi para petani demense.,
 Di lain pihak petani yang mempunyai produk yang bisa dijual dan lahan sewaan yang mereka miliki benar-benar bisa menaikkan posisi mereka, semakin luas lahan yang dimiliki para petani semakin besar pula peluang mereka untuk menghasilkan surplus yang bisa dipasarkan, dan penghasilan ini secara otomatis mereka gunakan untuk menunjang usaha yang mereka miliki. Para petani yang lebih kecil nasibnya yang paling menderita mereka melepaskan lahan mereka yang kecil untuk bisa bekerja ke petani yang lain yang memiliki lahan yang luas. Akibat dari hal ini yaitu petani yang kaya bisa semakin kaya, tetapi sebaliknya yang miskin pun jadi tambah miskin.
 Diberbagai manor yang umumnya Lord tidak berkuasa lagi, dan sewa sekarang pada umumnya dibayarkan dengan menggunnakan uang disana status para petani tidak lagi rendahan. Tetapi lain halnya di Eropa Timur dimana para petani disana masih sebagai pegawai rendahan dikarenakan Lord disana berhasil mempertahankan demensenya dengan baik dean menjual hasil pertanian ke kota dengan harga sangat mahal, sehingga para Lord disini menjadi sangat kaya. Para lord yang berhasil mempertahankan demensenya atau bahkan memperluasnya mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
 Dan dari situ muncullah para bangsawan-bangsawan baru yang mana mereka adalah pedagang yang membayar demense dengan harga tinggi demi kedudukan dan gelar. Dalam hubungan yang tradisional dan feudal antara lord dengan petani, kesejahteraan Lord tergantung pada perbedaan status legal mereka. Lord memiliki otoritas legal terhadap para petaninya sehingga mereka dapat menerapkan hukuman seandainya mereka tidak bekerja.

C. Filsafat Sosial Hobbes
Hak alami bagi hobbes, adalah hak yang dimiliki manusia bahkan meskipun tidak ada lembaga social manusia. Aquinas akan menyetujui definisi ini pula, namun jika aquinan mengonsepsikan bahwa manusia dalam “Lingkungan alami” yang imajiner ini masih ditempatkan didalam system hak dan kewajiban yang tersusun secara hierarkhis, hobbes berpendapat bahwa mereka hanya perlu tunduk kepada hokum alami saja yaitu dalam pengertian hokum-hukum alam baru, hokum-hukum itu seperti hokum gravitasi ataupun hokum mekanika, bahwa sesuatu yang bergerak akan terus bergerak, kecuali jika dihalangi oleh campur tangan eksternal. Bagi hobbes seluruh kehidupan terdidi dari gerakan vital: berdetaknya jantung, bernafas, dan mencerna makanan.
Dalam lingkungan alami setiap orang dengan demikian akan melakukan apapun yang menurut mereka akan menjamin keberlangsungan hidupnya sendiri, tanpa memandang apakah hal itu akan menyakiti yang lain, ataupun bertentangan dengan hukumk ilahi. Bagi hobbes ini adalah hak kami yang fundamental yang pada akhirnya hal itu akan menjelaskan seluruh tindakan manusia dan menjadi satu-satunya basis yang dimungkinkan untuk membenarkan ataupun mengkritik lembaga-lembaga manusia.
Hal ini sangat berbeda dengan Aquinas yang mana berpendapat bahwa perbedaan kekuatan dan rasionalitas akan menghasilkan hierarkhi alami diantara Manusia, namun bagi hobbes seluruh manusia itu setara, variasi individual dalam hal kekuatan dan rasionalitas itu tidak penting lagi jika ditinjau dari satu-satunya sudut pandang yang penting, yaitu seperti mempertahankan hidup.
Setiap orang itu rentan: bahkan orang yang paling kuat pun harus tidur dari waktu ke waktu, sehingga seseorang anak pun bisa dengan mudah membunuh seorang raksasa. Didalam lingkungan alami sebagaimana yang dikonsepsikan hobbes, tak seorang pun bisa menjamin bahwa dirinya tidak akan dicelakai orang lain. Karena didalam lingkungan alami tidak ada seseorangpun yang bisa mencegah seseorang yang lain untuk melakukan sesuatu.
Jadi bagi hobbes gagasan tentang hak alami, mengarahkan pada diciptakannya hokum alami yang mengarahkan manusia untuk memasang batas-batas terhadap hak alaminya untuk melakukan apapun yang mereka hendaki. Hokum alami karenanya akan meminta aku menyerahkan hakku untuk menyakiti yang lain, asalkan orang-orang lain juga menyerahkan haknya untuk menyakiti aku. Akan tetapi disini perlu adanya suatu kekuasaan yang bisa menjamin bahwa siapapun yang melanggar kontrak dengan berbuat jahat kepada orang lain bahkan sebaliknya akan lebih disakiti. Jadi menurut Hobbes berdasarkan kodratnya, manusia memerlukan agar manusia menyerahkan dirinya sendiri kepada kekuasaan yang mampu memberlakukan aturan yang melarang orang-orang untuk menyakiti orang lain.
Dasar bagi terciptanya masyrakat yang aman dan terorganisasi, bagi hobbes adalah kontrak yang dengan itu setiap individu anggota masyarakat menyerahkan hak-hak alaminya kepada orang-orang atau sekelompok orang yang diberi hak eksklusif untuk menyakiti orang lain, secara teori sekelompok orang tersebut bisa laki-laki bisa perempuan, tapi menurut hobbes itu lebih baik yang laki-laki, penguasa yang berdaulat itu bukanlah anggota dari kontrak yang disepakati, tetapi ia memiliki semua kekuasaan legislative, yudikatif dan eksekutif dan ia mengatasi hokum. Ini didasarkan pada fakta bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki kekuasaan untuk menghukum segala tindakannya. Menurut Hobbes mereka bisa dianggap telah dengan sukarela mengikutsertakan diri mereka dalam suatu kontrak satu sama lain untuk menerima kekuasaannya yang absolute, sebab satu-satunya alternative lain bagi mereka adalah kematian, jadi didalam filsafat sosialnya Hobbes, gagasan tentang kebebasan total individu di dalam lingkungan alami diciptakan untuk mengandaikan perlunya menerima ketaatan yang sepenuhnya di dalam masyarakat.
Titik yang paling jelas antara filsafat Hobbes dan Aquinas terdapat pada arti dari seorang raja, yang mana menurut Aquinas seorang Raja berkuasa berkenaan dengan kekuasaan Allah, namun sebaliknya Hobbes mengatakan bahwa seorang Raja dipilih oleh rakyat dikarenakan kekhawatiran jika harus kembali kedalam lingkungan alami. Meskipun dalam filsafat Hobbes seorang penguasa itu mempunyai kekuatan yang absolute tetapi hal itu tidak menjamin bagi yang dikuasainya untuk memberikan kesetiannya, jika raja tidak cukup kuat untuk menegakkan hokum dan ketertiban atau mempertahankan negeri dari serangan musuh, maka dalam system Hobbes tak ada satu alasan apapun yang bisa mencegah mereka yang dikuasai itu untuk melengserkan sang penguasa.
Dalam filsafat Hobbes, individu menjadi subjek yang dikuasai dengan menyerahkan haknya untuk menyakiti individu lain, dan disinilah fungsi dari penguasa tersebut, penguasa akan berusaha menghukum siapapun yang melanggar hokum. Hobbes juga berpendapat bahwa kelompok-kelompok kecil, seperti keluarga, juga didasarkan pada kontrak antara individu-individu. Bagi hobbes keluarga tidaklah terikat bersama berdasarkan cinta dan kasih sayang atau berdasarkan keunggulan alami jenis kelamin laki-laki.
Bagi Hobbes semua kontrak dilakukan oleh pihak-pihak yang pada dasarnya sederajat, dalam arti perbedaan kekuasaan alami antara mereka sangat kecil dan bersifat tidak permanen untuk bisa menjadi landasan hubungan kekuasaan yang mengikat di antara mereka tetapi secara alami kekuasaan itu memang berbedea hingga derajat tertentu, dan seluruh tujuan kontrak adalah untuk menciptakan ketidaksetaraan social yang stabil. Bagi Aquinas, masyarakat seperti alam ditata secara hierarkhis oleh Allah, tetapi menurut hobbes perbedaan peringkat adalah hasil kompetisi diantara manusia yang secara alami bersifat setara didalam kerangka hokum yang diberlakukan oleh penguasa. Terdapat perbedaan pula antara Hobbes dan Aquinas dalam pandangannya tentang nilai ekonomi. Bagi Aquinas nilai suatu produk tidak ada kaitannya dengan transaksi manusia, dan harga alami harus berkaitan dengan nilai-nilai itu. Namun bagi Hobbes, suatu produk tidak mengandung nilai kecuali dalam kaitannya dengan transaksi di dalam pasar.
Titik tolak bagi Hobbes adalah individu sendirilah yang berupaya dengan penuh jerih payah untuk menciptakan suatu tatanan didalam dunia yang dingin, mengancam dan tidak dapat diperhitungkan. Sudah lazim dan poada dasrnya bisa dibenarkan, jika mencirikan filsafat social Hobbes bersifat Mekanis, yang bertentangan dengan filsafat Aquinas yang bersifat organis.
KESIMPULAN :
 Jadi jika ingin mempelajari tentang filsafat social maka kita tidak akan terlepas dari makna historis dari suatu proses social yang dialami oleh manusia itu sendiri. Seperti yang telah kami paparkan diatas bahwa kehidupan Feodalisme pada masa Thomas Aquinas sangatlah berbeda dengan masa Thomas Hobbes, sehingga dari mereka berdua timbullah dua teori yang berbeda tentang memandang sebuah hierarkhi yang ada di masyarakat meskipun kehidupan mereka tidak berselang lama.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MASA FEODALISME : FILSAFAT SOSIAL THOMAS AQUINAS DAN THOMAS HOBBES
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/02/masa-feodalisme-filsafat-sosial-thomas.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

1 komentar:

megumi mengatakan...

Dapet data Sumbernya dari mana ya??

Posting Komentar

Blog PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya Di Desain Oleh Amar Suteja .