PMII Ditengah Carut Marut Bangsa
Jumat, 22 Februari 2013
0
komentar
Oleh : Moza Musarrofah
Sistem pemerintahan yang semerawut dan sangat pragmatis memperparah keadaan Negara ini yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, kebijakan-kebijakan public yang dibuat tidak akan jauh dari kepentingan golongan masing-masing, rakyat dibuat hanya sebagai penonton dan pelaksana bidak percaturan politik yang ada di Negara ini, mereka sekalipun tidak memiliki kemampuan untuk hanya sekedar melihat kebijakan melainkan hanya sebatas pelaku kebijakan yang di intervensi secara terus menerus oleh pihak atasan. Keterbatasan SDM juga membuat mereka tidak bisa berbuat banyak untuk memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Pertanyaanya sekarang siapakah yang mempunyai andil terbesar dalam upaya memperbaiki sistem yang seperti ini, ditengah kemajuan teknologi informasi yang mana telah melintasi ruang dan waktu, dan modernisme yang telah masuk sampai pada budi manusia, yang membuat mereka terus menerus menyesuaikan diri hanya sekedar untuk bereksistensi di dalamnya walaupun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, disinilah peran mahasiswa sosiologi itu dibutuhkan dalam mencari solusi dalam setiap problema yang terjadi di dalam masyarakat, dimana mereka sebagai kaum terdidik dengan basic keilmuan yang jelas yang mana dapat mereka gunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, namun hal itu nyataya masih sangat sulit sekali dilakukan di saat mereka lebih cenderung bekerja di belakang meja dan mengoceh kesana kemari dalam berbagi talk show tanpa adanya suatu kenyataan real mereka bisa mengejewantahkan apa yang mereka miliki kepada masyarakat.
Cita-cita mewujudkan tatanan sosial demokratis menjadi impian semua organ gerakan. Untuk mewudkannya selalu terkait sejauh mana organ gerakan tersebut mampu mengfungsikan kemampuannya ditataran konseptual maupun ditataran praktis, namun tetap berpijak pada idealisme organisasi yang menjadi acuan bersama, karena dengan tetap berpijak pada idealisme cita-cita demokratis dapat diwujudkan tanpa ada penimpangan
Demikian pentingnya sebuah ikhtiar dalam memangku harapan bagi terciptanya keberlangsungan masa depan dunia modern yang demokratis. Dengan berbasic paradigma komunikatif fokus organ gerakan tidak lagi terjebak pada fenomena “pekerjaan” yang hanya melibatkan pekerjaan sebagai instrumen kreatif kreatif bebas dan positifistik dalam memandang dunia masa depan (future world). Melainkan fokus konsentrasi organ gerakan harus pada fenomena “komunikatif intersubyektif”, karena hanya dengan cara pandang seperti ini kita dapat menganggap dan menilai masyarakat masa depan (future society) yang berpijak pada kebebasan cara berkomunikasi yang terbuka dan tanpa dominasi.
Polarisasi dunia yang dimulai dengan proses stigmatisasi terlebih dahulu mengakibatkan tersisihnya individu, kelompok, bangsa dan Negara yang disebabkan tidak mempunyai kekuatan financial dan tidak punya akses keluar-ke dalam menjadikan tidak survivenya sebuah pertarungan politik yang berefek pada ketidakteraturan sosial. Sehingga segenap rancangan pembangunan tidak berjalan semestinya, karena harus ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan tidak secara normal, dalam arti tidak melalui mechanism consensus sebagai peleburan semua kepentingan-kepentingan. Untuk ini, tugas PMII sebagai organ gerakan memberikan pencerahan.
Untuk memberikan pencerahan pada masyarakat agar terbebas dari dominasi baik dari cengkraman stuktur dunia, struktur Negara dan struktur masyarakat, maka dengan adanya jaminan formal maupun substansial atas demokrasi yang disertai dengan adanya komunikasi permanen, ketegangan yang terjadi terus-menerus antara ilmu dan opini publik ditingkatan local, nasional maupun internasional bisa dihindari tanpa adanya pihak yang dirugikan dan disisihkan.
Pengandaian tertinggi dari cara pandang di atas adalah Praktis Emansipatoris sebagai perwujudan dari cara berpikir kritis dalam membaca realitas social. Tetapi, kritis emansipatoris dalam kacamata filsafat Kant bukan berarti subyek melepaskan diri dari obyek, atau dengan menggunakan bahasa filsafat Hegel, kemampuan subyek untuk membangun sintesis bukan berarti menyatakan dirinya dalam obyek. Sedangkan menurut kaum Marxian tidak berarti kemampuan manusia merealisasikan dirinya dalam obyek mengubah obyek, melainkan kritis berarti kemampuan penyadaran diri manusia dari kekuatan “hegemonic” tertentu sehingga pada gilirannya manusia itu mampu melakukan perlawanan dan pengubahan atasnya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya
Pertanyaanya sekarang siapakah yang mempunyai andil terbesar dalam upaya memperbaiki sistem yang seperti ini, ditengah kemajuan teknologi informasi yang mana telah melintasi ruang dan waktu, dan modernisme yang telah masuk sampai pada budi manusia, yang membuat mereka terus menerus menyesuaikan diri hanya sekedar untuk bereksistensi di dalamnya walaupun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, disinilah peran mahasiswa sosiologi itu dibutuhkan dalam mencari solusi dalam setiap problema yang terjadi di dalam masyarakat, dimana mereka sebagai kaum terdidik dengan basic keilmuan yang jelas yang mana dapat mereka gunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, namun hal itu nyataya masih sangat sulit sekali dilakukan di saat mereka lebih cenderung bekerja di belakang meja dan mengoceh kesana kemari dalam berbagi talk show tanpa adanya suatu kenyataan real mereka bisa mengejewantahkan apa yang mereka miliki kepada masyarakat.
Cita-cita mewujudkan tatanan sosial demokratis menjadi impian semua organ gerakan. Untuk mewudkannya selalu terkait sejauh mana organ gerakan tersebut mampu mengfungsikan kemampuannya ditataran konseptual maupun ditataran praktis, namun tetap berpijak pada idealisme organisasi yang menjadi acuan bersama, karena dengan tetap berpijak pada idealisme cita-cita demokratis dapat diwujudkan tanpa ada penimpangan
Demikian pentingnya sebuah ikhtiar dalam memangku harapan bagi terciptanya keberlangsungan masa depan dunia modern yang demokratis. Dengan berbasic paradigma komunikatif fokus organ gerakan tidak lagi terjebak pada fenomena “pekerjaan” yang hanya melibatkan pekerjaan sebagai instrumen kreatif kreatif bebas dan positifistik dalam memandang dunia masa depan (future world). Melainkan fokus konsentrasi organ gerakan harus pada fenomena “komunikatif intersubyektif”, karena hanya dengan cara pandang seperti ini kita dapat menganggap dan menilai masyarakat masa depan (future society) yang berpijak pada kebebasan cara berkomunikasi yang terbuka dan tanpa dominasi.
Polarisasi dunia yang dimulai dengan proses stigmatisasi terlebih dahulu mengakibatkan tersisihnya individu, kelompok, bangsa dan Negara yang disebabkan tidak mempunyai kekuatan financial dan tidak punya akses keluar-ke dalam menjadikan tidak survivenya sebuah pertarungan politik yang berefek pada ketidakteraturan sosial. Sehingga segenap rancangan pembangunan tidak berjalan semestinya, karena harus ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan tidak secara normal, dalam arti tidak melalui mechanism consensus sebagai peleburan semua kepentingan-kepentingan. Untuk ini, tugas PMII sebagai organ gerakan memberikan pencerahan.
Untuk memberikan pencerahan pada masyarakat agar terbebas dari dominasi baik dari cengkraman stuktur dunia, struktur Negara dan struktur masyarakat, maka dengan adanya jaminan formal maupun substansial atas demokrasi yang disertai dengan adanya komunikasi permanen, ketegangan yang terjadi terus-menerus antara ilmu dan opini publik ditingkatan local, nasional maupun internasional bisa dihindari tanpa adanya pihak yang dirugikan dan disisihkan.
Pengandaian tertinggi dari cara pandang di atas adalah Praktis Emansipatoris sebagai perwujudan dari cara berpikir kritis dalam membaca realitas social. Tetapi, kritis emansipatoris dalam kacamata filsafat Kant bukan berarti subyek melepaskan diri dari obyek, atau dengan menggunakan bahasa filsafat Hegel, kemampuan subyek untuk membangun sintesis bukan berarti menyatakan dirinya dalam obyek. Sedangkan menurut kaum Marxian tidak berarti kemampuan manusia merealisasikan dirinya dalam obyek mengubah obyek, melainkan kritis berarti kemampuan penyadaran diri manusia dari kekuatan “hegemonic” tertentu sehingga pada gilirannya manusia itu mampu melakukan perlawanan dan pengubahan atasnya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PMII Ditengah Carut Marut Bangsa
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/02/pmii-ditengah-carut-marut-bangsa.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar