PMII
Jumat, 22 Februari 2013
0
komentar
1.
Cikal Bakal dan proses Kelahiran PMII
PMII, yang sering kali disebut Indonesia
Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah
anak cucu NU (Nahdatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Pengurus
Tinggi Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) yang juga anak NU. Status anak cucu
ini pun diabaikan dalam dokumen kenal lahir yang dibuat di Surabaya tepatnya di
Taman Pendidikan Putri Khodijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan
tanggal 21 Syawal 1379 H.
Meski begitu bukan lahirnya PMII
berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan yang dihadapinya. Hasrat
mendirikan mahasiswa NU memang sudah lama bergejolak, namun pihak PBNU belum
memberikan Grenn Light, belum meganggap perlu adanya organisasi
tersendiribuat mewadahi anak-anak NU yang belajar di Perguruan Tinggi.
Namun kemauan anak-anak muda itu tak
pernah kendor, bahkan terus berkobar dari kampus ke kampus. Bisa dimengerti
karena kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan
untuk melahirkan organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan
dibawah naungan payung induknya misalnya SEMII (dengan PSII), KMI (dengan PERTI),
HMI (dengan MASYUMI), IMM (dengan MUHAMMADUYAH) dan HIMMAH (dengan WASHLIYAH)
serta masih banyak lagi. Wajar jika anak-anak NU kemudian ingin mendirikan
wadah sendiri dan bernaung dibawah panji dunia. Dan benar, keinginan itu
kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) pada akhir 1955,
yaitu yang diprakasai oleh beberapa pimpinan pust dari IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang
karena PBNU menolak keberadaannya. Bisa dipahami kenapa PBNU bertindak keras,
karena pada waktu itu IPNU baru saja lahir yaitu pada tanggal 24 Februari 1954.
apa jadinya jika baru lahir saja belum terurus sudah terburu menangani yang
lain, logis sekali. Jadi keberadaan PBNU bukan pada prinsip berdiri atau tidak
adanya IMANU tapi lebih merupakan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan
evektifitas waktu.
Dan baru setelah wadah “Departemen”
itu dinilai tidak lagi efektif, tidak cukup kuat untuk menampung aspirasi
mahasiswa NU, konferensi besar IPNU (14-16 Maret 1960 di Kaliurang Jogjakarta)
sepakat mendirikan organisasi tersendiri. Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa NU yang
tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama 3 hari di Taman Pendidikan
Khodijah, Surabaya.
Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah
lama mereka impikan.
Bertepatan dengan itu, ketua umum
PBNU, K.H. Idham Kholid, memberikan lampu hijau, bahkan semangat pula membakar
semangat agar mahasiswa NU menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip. Ilmu itu untuk diamalkan
bukan ilmu itu untuk ilmu. Maka dengan itu lahirlah organisasi mahasiswa
dibawah naungan paying NU, pada tanggal
17 April 1960, lewat kandungan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang
lahir itu diberi nama PErgerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Dengan
demikian, ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri.
Bahwa kemudian harus berpanji dibawah panji NU, itu bukan sekedar pertimbangan
praktis semata, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris
menciptakan iklim depedensi sebagai suatu kemutlakan. Tapi lebih dari itu
keterikatan PMII pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun
atas dasar kesamaan nilai, kultur, aqidah, cita-cita bahkan pola berpikir,
bertindak dan berprilaku.
Mengenai makna dari PMII sendiri
dari mulai kata “PERGERAKAN” adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar
untuk membina dan mengembangkan potensi ke-Tuhan-an dan kemanisian agar gerak
dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam kuwalitas tinggi yang mempunyai
identitas dan eksistensi diri sebagai Khalifah Fil Ard. Kata “MAHASISWA”
yang terkandung dalam PMII adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di
Pergruuan Tinggi yang mempunyai
kebebasan dalam berpikir, bersikap dan bertindak kritis terhadap terhadap
kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah
sebagai insane Religius, insane Akademik, insane sosial, dan insane Mandiri.
Kata “ISLAM” yang terkandung dalam
PMII adalah Islam sebagai agama pembebas terhadap fenomena realitas sosial
dengan paradigma Ahlusunnah Wal Jama’ah yang konsep terhadap pendekatan agama islam
secara proposional antara Iman, Islam dan Ihsan yang dalam pola pikir prilaku
tercerminkan sifat-sifat selektif, akonodatif dan interatit. Kemudian yang
terakhir, kata “INDONESIA” yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa
dan Negara Indonesia yang mempunyai Falasafah ideology bangsa (Pancasila) dan
UUD ’45 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran
berwawasan nusantara.
2.
Reformulasi dan Reorentasi Gerakan PMII
Pada awal-awal berdirinya, PMII
masih menjadi gerakan Underbouw (Departement) NU baik secara structural
(IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada waktu itu situasi sosial politik
sangat panas dan banyak dari organisasi-organisasi mahasiswa yang berfailasi
dengan kekuatan politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong kemenangan
partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini terjadi
sampai tahun 1972.
Dalam perjalanan sejarahnya, PMII
terus mengadakan refleksi-aksi, refleksi aksi gerakan yang selama ini diambilnyauntuk menjadi cermin transformative
bagi gerakan-gerakan PMII dimasa yang akan dating, keterlibatan PMII dalam
dunia politik praktis yang terlalu jauh dalam Pemilu tahun 1971 itu akhirnya
sangat merugikan PMII sendiri sebagai organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII
banyak kemunduran dalam segala aspek
gerakan. Hal ini juga berakibat buruk pada beberapa Cabang PMII beberapa
daerah.
Kondisi ini akhirnya menyadarkan
PMII untuk mengkaji ulang gerakan yang selama ini dilakukannya, khususnya dalam
dunia politik praktis. Setelah melalui beberapa pertimbangan yang mendalam,
maka pada musyawarah besar pada tanggal 14-16 Juli 1972 PMII mencetuskan
deklarasi INdependet di Munarjati Lawang Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan “Deklarasi
Munarjati”. Sejak itulah PMII
secara formal structural lepas di bawah naungan NU, dan langsung membuka akses
dan ruang sebesar-besarnya tanpa berpihak kepada salah satu partai politik.
Hingga saat ini indepedensi itu masih terus dipertahankan dengan penegasan
“Penegasan Cibogo” pada tanggal 08 Oktober 1989. bentuk dari indepedensi itu
sebagai upaya merespon pembangunan dan modemitas bangsa, dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai etika dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran
Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sampai kemudian PMII melakukan reformasi
gerakan lagi pada kongres X PMII pada tanggal 27 Okteber 1991 di Asrama Haji
Pondok Gede Jakarta.
Pada kongres tersebut ada keinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII
dengan NU, yang akhirnya melahirkan
pertanyaan. “Dekralarasi Indepedensi PMII-NU”. Penegasan hubungan itu
didasarkan kepada pemikiran-pemikiran antara lain : pertama, adanya
ikatan kesejarahan (historisitas) yang mempertautkan antara pemikiran PMII-NU.
Adapun kehidupan menyatakn dirinya sebagai organisasi independent, hendaknya
tidak dipahami secara sempit sebagai upaya mengurangi, apalagi menghapuskan
arti ikatan kesejarahan. Kedua, adanya persamaan paham keagamaan
dan kebangsaan. Bagi PMII-NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesia-an
merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia.
3.
Menata Gerakan PMII
Perubahan-perubahan
dalam system politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada bentuk
dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII sendiri. Disamping itu, sikap
kritis yang amat dibutuhnkan mendorong para aktifis PMII secara dinamis sikap
yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita gerakan mahasiswa sebagai agen of social
change.
Sebenarnya pada era tahun 1980an,
PMII ulai serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhadap amsayrakat
serta menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada
dua momentum/peristiwa besar yang ikut mewarnai pergulatan PMII dalam wilayah
kebangsaan Pertama,penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asa
tunggal, kedua, kembalinya NU ke Khittah 1926 pada tahun 1984 ketika itu
PMII mampu memposisikan yang cukup startegis karena:
- PMII memberikan prioritas kepada upaya pengembangan intelektual;
- PMII menghindari bentuk dari praktek politijk praktis dan bergerak diwilayah pemberdayaan Civil Society;
- PMII lebih mengembangkan sikap dan paradigma kritisme terhadap Negara.
Pada periode tahun 1985-an PMII juga
melakukan reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan rumusan
Nilai dasar Pergerakan (NDP), sepanjang tahun1990-an, PMII telah melakukan
diskursif-diskursif serta issue-issue penting, seperti Islam Transformatif,
demokrasi, pluralisme, Civil Society, masyarakat komunikatif, teori kritik
postmodernisme.
Seirang dengan naikknya Gus Dur
menjadi orang nomor Wahid yang ke-4 di Indonesia. Serta merta aktifis PMII
mengalami kebingungan apakah Civil Society harus berakhir ketika Gus Dur yang
selama ini menjadi tokoh dan simpul talimperjuangan Civil Society naik
ketampuk kekuasaan. Dan ketika Gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden,
patradigma yang selama ini menjadi aras gerak PMII telah patah. Paradigma ini
kemudian diganti dengan Paradigma Kritis Transformatif.
Bagaimana
Kita sebagai Kader PMII harus bersikap?
Adalah
suatu keniscayaan dan tanggung jawab besar kita sebagai generasi penerus bangsa
umunya dan kader PMII khususnya untuk berfikir kritis terhadap setiap kebijakan
Negara yang kadang kala sama sekali tidak memihak terhadap rakyat kecil dan
cenderung menindas, begitupun secara mikro kebijakan yang ada dikampus kita,
kampus putih, kampus ra kyat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yang kedua kita
sebagai kader pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik
serta responsive terhadap realitas social yang ada.
Landasan filosofis PMII adalah
Nilai-Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang
disitu ada Hablun Minallah (hubungan dengan Allah), Hablun Minannas
(hubungan manusia dengan sesama manusia), Hablun minal ‘alam (hubungan
dengan alam. Landasan berfikir PMIII adalah
Ahli Sunna Wal Jama’ah (Aswaja) yang didalamnya ada tasammuh
(toleran), tawazzun (keseimbangan), tawassuth (moderat), ta’addul
(keadilan) yang menjadi Manhajul Fikr (Metodologi berfikir) dan sebagai
instrument perubahan. Landasan paradigmatiknya adalah Paradigma Kritis
Transformatif (PKT) yang menjadikan perangkat perubahan analisa yang menjadi
mencita-citakan perubahan pada semua level/bidang. Ketiga landasan itulah yang
dijadikan acuan/pedoman yang haruas dimiliki oleh setiap kader Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII).
Sedangkan individu-individu yang
membentuk komunitas PMII dipersatukan oleh konstruk ideal seorang manusia.
Secara ideologis, PMII merumuskan sebagai Ulul-albab. (Citra diri
seorang kader PMII). Komunitas ulul-albab ini dicirikan:
- Berkesadaran historis-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam;
- Berjiwa optmis-transendental atas kemampuan mengatasi masalah lehidupan;
- Berfikir secara dialektis;
- Bersikap Kritis;
- Bertindak Transformatif.
Visi dan Misi besar PMII harus tetap
kita kawal yang nantinya menuju pada terbebasnya masa rakyat, pekerja dan
terciptanya tatanan masyarakat adil makmur sepenuhnya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Rayon Dakwah Komisariat Sunan Ampel Cabang Surabaya
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PMII
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/02/pmii.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar