PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
Jumat, 22 Februari 2013
0
komentar
Oleh : Mohammad Tohir
A. Apakah Paradigma itu?
Paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam
bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh
Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon
(1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).
Sementara Khun sendiri,
seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian
paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda.
Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam
tiga pengertian paradigma.
1. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi
pusat kajian ilmuwan.
2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial
masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
3. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan
konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma
pergerakan dll.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan
mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a
fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan George Ritzer
mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan
apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat
aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika
dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the
Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat
atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang
memandu arahan pergerakan.
B. Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa
sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas
dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga
teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan
teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak
bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata
lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial,
Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi
pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis)
dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas
(kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil
mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme
yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri
pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine
Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui
dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi
modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut
bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus
melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok
Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa
tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund
Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom),
Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal
(sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger
yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya
Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya
madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi
determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan
terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi)
sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan
dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik
terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak
hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan
perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh
program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto
yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer.
Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle
und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul.
Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor
Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian
dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang
terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge
Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1. Teori Marxian yang deterministic yang
menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
- Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi.
- Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
- Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
- Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir
kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan
terus bekerja (working reality).
Mereka
mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi.
Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi
dominan dalam masyarakat.
Teori Kritis
berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel
Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam Pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat teori
kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan
membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan
“isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition
of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik
Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan
pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri
dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental.
Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan
menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian
merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant
berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori.
Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh
pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar
metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza
Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational.
Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses
totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme
bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah
ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas
tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam
sejarah manusia.
3. Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel
seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian
dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah
pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan
material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal
produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha
mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa
di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk
mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh
hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima
Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis
masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat.
Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis
psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong
oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas
pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan
terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas,
teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif
prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang
teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a. bersifat kritis dan curiga terhadap segala
sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. berfikir secara historis, artinya selalu
melihat proses perkembangan masyarakat.
c. tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak
melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
C. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis
Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga
jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma
keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional.
Secara eksternal paradigma
ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya,
anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada
kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma
Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa
:- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak
perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga
revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus
mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak
berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak
mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan
antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya
membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural
memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas
serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang
ada disekitarnya.
D. Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas
merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah
dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan
dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia
merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan
realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis
dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan
paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau
pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
a. Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi
dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme
sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif,
dan eksploitatif.
b. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada
level nasional maupun internasional.
c. Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu
berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan
mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di
masyarakat.
e. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar
tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level
individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
E. Kritis dan Transformatif
Namun
Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti
apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem
yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif;
namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif”
melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif
dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya
menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal
sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang
serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif
harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan
praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada
dataran praksis antara lain:
1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini
digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial
harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi
buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat
adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum
kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan
kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang
lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki
oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita
sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah
kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada
gerakan yang bersifat horisontal.
2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah
transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis
teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.
Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu,
Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif
untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.
Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga
adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini
tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde
baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi,
aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan
kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan
sosial di lapangan.
4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi
selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu
sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan
kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan
oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong.
Rasa egoisme dan
individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu
jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri),
adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya
power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju
perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
F. Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang
diterapkan di PMII
Dari paparan diatas, terlihat
bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia
adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat
tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari
tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh
warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma
kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam
memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari
ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan
ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka
tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok
pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di
kalangan warga PMII.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://pmii-rayon-dakwah.blogspot.com/2013/02/paradigma-kritis-transformatif.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Amar Suteja
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar